Selasa, 27 November 2012

Saksi Pohon KenariKu

Seperti biasa di bawah pohon kenari itu seorang ibu tua menyandarkan tubuhnya, tubuh yang lemas, rentan serta kering. Usianya kini telah 65 tahun, meski tubuhnya tak sekuat dulu, ia merelakan tenaganya untuk menaiki bukit kecil ini hanya sekedar menyandarkan tubuhnya di pohon kenari ini.  Butuh  satu jam untuk bisa sampai ke pohon kesayanganya ini. Meski berbeda dengan 20 tahun lalu yang hanya butuh waktu 15 menit untuk sampai. Semilir angin menghepas tubuh kecilnya. Di lihatnya langit begitu teriknya siang ini,untunglah ada pohon pelindung ini, pikirnya. Sungguh tenangnya bersandar disini. Matanya kini bekeliaran memandangi lautan rumah berpetak-petak yang luas. “Padat sekali tanah ini sekarang”, gumamnya. Ahh ..jaman apa ini tanahku yang dulu hijau tersihir menjadi tanah tandus.
Dulu sebelum bangunan-bangunan itu berdiri memadati tanahku, tanah itu berwarna hijau yang sayuk. Jadi teringat 50 tahun yang lalu, saat teman-temanku asyik bermain aku lebih memilih untuk menaiki bukit dan menyandarkan tubuh di bawah pohon kenari. Aku suka dengan alam di bawah bukit, terasa segar di pandang. Tak hanya itu dari situlah awal aku bisa melukis. Lihat saja di rumahku lukisan-lukisanku terpampang dimana saja di sudut rumah. Lalu ide-ideku keluar, semakin lancar aku ungkapkan melukisku. Dan semua bertemakan tentang alamku, tanahku, dan hijauku.
Disetiap hari selalu aku sempatkan duduk di bawah pohon kenari, walau hanya terdiam membisu karena tak ada siapapun di sini.
Suatu hari setelah seharian membantu mamak ku berjualan di pasar bukit bawah. Di suatu gang kecil yang selalu aku lewati entah mengapa aku seperti mendegar perbincangan yang menyangkut desa di bawah bukit pohon kenariku.
“ Untung besar kita pak, telah menjual tanah- tanah disini, warga kita ini cuma manut-manut saja, mereka tidak tau apa yang kita lakukan.” Kudegar suara perckapan antara pak lurah dengan seorang bangsawan sebrang. Lalu mereka tertawa besar yang menakutkan.
Sampai lah aku di pohon kenariku ini, berfikirlah sejenak aku disni. Memandangi alam desaku yang masih bersih ini.
10 tahun kemudian, tanah ini berdiri bangunan-bangunan yang lebih modern. Selama 10 tahun terakhir perekonomian warga juga menurun drastis. Sawah kini sudah miskin, tak sekaya dulu lagi. Akhirnya kelaparan pun terjadi.
Berkembang pesatnya desa bawah bukit, orang- orang luar silih berganti menempati desa ini. banyak penginvestor tanah disni karena tanah di sini benar-benar menjanjikan. Tapi mereka melupakan sesuatu. Hanya keuntungan saja yang mereka pikir. Membangun dan membangun tanpa mempedulikan lingkungan lagi.
Ku pandangi tanah coklat di bawahku “mengapa kau mau jadi begini tanahku, di jejali bagunan-bangunan ngeri ini”, gersahnya. Ini semua berawal dari seorang yang mengaku paling tangguh, paling benar dan paling berkuasa yang mengambil mahkotamu tanah. Aku tau kau merasa sangat terpaksa dengan kondisimu dan menyerahkan semuanya.
Ku hirup udara memang sudah tak seperti dulu lagi, sedih rasanya jika mengingat masa lalu. Semua sudah berubah tak seapik dulu lagi.
Sore ini entah mengapa awan putih yang berhawa panas berganti menjadi awan hitam yang sedikit demi sedikit berkumpul dan akhirnya menjadi gelap karena mendung. Lalu setelah itu tumpahan air sedikit demi sedikit menjadi deras. Meski hujan lebat aku tetap bersandar pada pohon kenariku. Tak terlalu basa karna ada sahabatku daun-daun yang menjadi gentingku.
“BUUURRRRR.....SRRRRTTT..” tiba- tiba suara itu datang dari desa bukit bawah. 15 menit kemudian tanah di bawahku menjadi lautan air. Bangunan-bangunan itu akhirnya tegenang air.



1 komentar: