Seperti biasa di bawah pohon kenari itu seorang ibu tua
menyandarkan tubuhnya, tubuh yang lemas, rentan serta kering. Usianya kini
telah 65 tahun, meski tubuhnya tak sekuat dulu, ia merelakan tenaganya untuk
menaiki bukit kecil ini hanya sekedar menyandarkan tubuhnya di pohon kenari
ini. Butuh satu jam untuk bisa sampai ke pohon
kesayanganya ini. Meski berbeda dengan 20 tahun lalu yang hanya butuh waktu 15
menit untuk sampai. Semilir angin menghepas tubuh kecilnya. Di lihatnya
langit begitu teriknya siang ini,untunglah ada pohon pelindung ini, pikirnya.
Sungguh tenangnya bersandar disini. Matanya kini bekeliaran memandangi lautan
rumah berpetak-petak yang luas. “Padat sekali tanah ini sekarang”, gumamnya.
Ahh ..jaman apa ini tanahku yang dulu hijau tersihir menjadi tanah tandus.
Dulu sebelum bangunan-bangunan itu berdiri memadati tanahku,
tanah itu berwarna hijau yang sayuk. Jadi teringat 50 tahun yang lalu, saat
teman-temanku asyik bermain aku lebih memilih untuk menaiki bukit dan
menyandarkan tubuh di bawah pohon kenari. Aku suka dengan alam di bawah bukit,
terasa segar di pandang. Tak hanya itu dari situlah awal aku bisa melukis.
Lihat saja di rumahku lukisan-lukisanku terpampang dimana saja di sudut rumah.
Lalu ide-ideku keluar, semakin lancar aku ungkapkan melukisku. Dan semua
bertemakan tentang alamku, tanahku, dan hijauku.
Disetiap hari selalu aku sempatkan duduk di bawah pohon
kenari, walau hanya terdiam membisu karena tak ada siapapun di sini.
Suatu hari setelah seharian membantu mamak ku berjualan di
pasar bukit bawah. Di suatu gang kecil yang selalu aku lewati entah mengapa aku
seperti mendegar perbincangan yang menyangkut desa di bawah bukit pohon
kenariku.
“ Untung besar kita pak, telah menjual tanah- tanah disini,
warga kita ini cuma manut-manut saja, mereka tidak tau apa yang kita lakukan.”
Kudegar suara perckapan antara pak lurah dengan seorang bangsawan sebrang. Lalu
mereka tertawa besar yang menakutkan.
Sampai lah aku di pohon kenariku ini, berfikirlah sejenak
aku disni. Memandangi alam desaku yang masih bersih ini.
10 tahun kemudian, tanah ini berdiri bangunan-bangunan yang
lebih modern. Selama 10 tahun terakhir perekonomian warga juga menurun drastis.
Sawah kini sudah miskin, tak sekaya dulu lagi. Akhirnya kelaparan pun terjadi.
Berkembang pesatnya desa bawah bukit, orang- orang luar
silih berganti menempati desa ini. banyak penginvestor tanah disni karena tanah
di sini benar-benar menjanjikan. Tapi mereka melupakan sesuatu. Hanya
keuntungan saja yang mereka pikir. Membangun dan membangun tanpa mempedulikan
lingkungan lagi.
Ku pandangi tanah coklat di bawahku “mengapa kau mau jadi
begini tanahku, di jejali bagunan-bangunan ngeri ini”, gersahnya. Ini semua
berawal dari seorang yang mengaku paling tangguh, paling benar dan paling
berkuasa yang mengambil mahkotamu tanah. Aku tau kau merasa sangat terpaksa
dengan kondisimu dan menyerahkan semuanya.
Ku hirup udara memang sudah tak seperti dulu lagi, sedih
rasanya jika mengingat masa lalu. Semua sudah berubah tak seapik dulu lagi.
Sore ini entah mengapa awan putih yang berhawa panas
berganti menjadi awan hitam yang sedikit demi sedikit berkumpul dan akhirnya
menjadi gelap karena mendung. Lalu setelah itu tumpahan air sedikit demi
sedikit menjadi deras. Meski hujan lebat aku tetap bersandar pada pohon
kenariku. Tak terlalu basa karna ada sahabatku daun-daun yang menjadi
gentingku.
“BUUURRRRR.....SRRRRTTT..” tiba- tiba suara itu datang dari
desa bukit bawah. 15 menit kemudian tanah di bawahku menjadi lautan air.
Bangunan-bangunan itu akhirnya tegenang air.
ceritannya bagus ... nice (y)
BalasHapus